Kamis, 04 Juli 2013

jurnalisme warga

Bandung-Sambil menyeruput secangkir kopi menikmati sejuknya embun ,  Asep dan angga sukmawijaya sebagai  reporter Tempo memberi materi ‘ jurnalisme warga’ di Sanggar Olah Seni, Bandung (29/06). Jurnalisme warga adalah suatu aktivitas menulis,  merekam, dan menyimpan suatu peristiwa yang ada di masyarakat yang sekiranya peristiwa itu perlu di ketahui orang banyak melalui audio, visual, audio visual dan media lainnya. “Jurnalisme warga juga memiliki kaidah untuk melakukan aktivitas jurnalistik” jelas Asep. Objek jurnalistik ialah berita tetapi tidak semua berita itu menjadi berita tetapi berita itu memiliki nilai-nilai sendiri untuk di publikasikan.  Jurnalisme profesional ialah yang bekerja pada suatu perusahaan, sedangkan jurnalisme warga ialah siapapun memiliki hak untuk mewartakan aktivitas di warganya. “Bagi seorang jurnalisme warga memiliki tantangan yang cukup rumit karena tidak semua warga dapat mengakses informasi publik.” Tutur Angga. Hal ini karena seorang warga tidak memiliki kartu pers. Suatu kejadian yang dianggap sepele bisa menjadi besar seperti kita melihat jalanan kota yang berlubang, dengan mereportase dengan mata telanjang  kita bisa mewartakan suatu fakta tanpa harus melakukan verifikasi. Meskipun jurnalisme warga tidak memiliki legalitas dan kartu pers, warga memiliki kode etik yang tidak jauh beda dengan jurnalistik profesional. “Karena pada intinya kita sebagai warga itu bertanggung jawab kepada yang membacanya, sedangkan jurnalistik profesional bertanggung jawab kepada perusahaan.”  jelas Asep.

Seorang jurnalisme warga juga sebaiknya mengetahui background yang akan kita gali. Agar pertanyaan yang ditanyakan dapat berkembang menjadi anak kalimat sehingga informasi yang didapat lebih mendalam dan khusus. “ Jurnalisme warga juga berdasarkan pengalaman yang dialami misalnya perubahan infrastruktur kota dsb.” Jelas Dito sebagai pembawa acara.

Penyampaian informasi bukan hanya bersifat umum, karena banyak sisi yang menarik untuk di gali seperti kejadian saat pesawat jatuh ke gunung Salak, yaitu perbandingan tenda Rusia dengan tenda TNI Indonesia dimana tenda Rusia bersih dan bebas dari sampah. Kemudian misalnya bagaimana ketika anggota TNI tidur di tali ketika mencari kotak hitam. Hal itu hal-hal yang bukan bersifat umum dimana media mainstreem membicarakan hal yang sama. Jadi jurnalisme warga justru menyampaikan secara luwes informasi  yang tidak dibicarakan media mainstream.

Saat  panas sedikit meredup, Prima sebagai jurnalisme di Tempo menyampaikan dasar-dasar foto jurnalistik. “Kalau untuk foto, masyarakat umum harus mengetahui kaidah-kaidah (lokasi jelas, momen ada, waktu, kejadiannya fakta) serta harus memiliki etika misalnya dalam teknik memotret yaitu ada unsur kesopanannya. Peristiwa harian yang direkam melalui media kamera bisa juga disebut  jurnal dalam bentuk visual. Namun kembali kepada etika manusia jika objek tidak berkenan kita sebaiknya tidak memaksa untuk memotret.  Foto juga perlu ada keterangan secara detail.

 Seiring dengan perkembangan IPTEK, video sudah akrab dikenal masyarakat. Namun bagaiamana kita mendokumentasikan  suatu peristiwa agar objek mau kita dokumentasikan. Hal tersebut dibangun atas dasar kepercayaan oleh yang di shoot dengan kameramen. Yuvi sebagai pembuat video dokumentasi berkata demikian. Layaknya  seorang jurnalisme warga, ia membangun kepercayaan kepada narasumber. Misalnya narasumber ialah seseorang yang terdekat dengan kita. Dilihat dari video yang diputar, sengketa tanah warga garut yang kemudian lahan pertanian di gusur dan satu warga dibakar menggambarkan jelas kegelisahan warga Garut. Ketika terjadi perselisihan antar warga dan TNI, dimana pihak TNI membawa senjata lengkap dan warga hanya membawa golok. Kang Yufi dan teman-temannya berada dalam bahaya dimana mereka di sekap pihak TNI karena tidak membawa kartu pers. Namun tidak kehabisan akal, kang Yufi menaruh beberapa kaset di rumput, di rumah warga, di tong sampah dan di tempat strategis lainnya. Dalam keadaan di todong senjata kang yufi menaruh kasetnya di celana dalamnya karena kondisi kamera saat itu sudah dirusak.

Kemudian kang yufi mengirimkan video dokumentasi itu ke DPR, MPR  dan pejabat lainnya. Tetapi yang saya heran ialah salah satu stasiun TV memberitakan dengan headline resikonya menjadi wartawan, dan isu tentang sengketa tanah itu tidak dijadikan topik utama. Dan yang saya kagum ialah kang yufi tidak memilih untuk diwawancarai oleh wartawan nasional padahal itu adalah kesempatan untuk menjadi terkenal, tetapi dia sadar dia memihak warga agar isu tentang warga tidak hilang.
Pengalaman dari kang yufi ketika mendokumentasikan seorang nenek yang membeli beras raskin, dia meminjam uang di warung untuk membeli beras raskin. Setelah kejadian itu, ada tekanan emosional sehingga kang Yufi tidak lagi meliput selama setahun.

Hal tersebut di tanggapi oleh (nn) karena beliau sebagai psikologi justru harus mewartakan kejadian (...)