Seorang jurnalisme warga juga sebaiknya mengetahui
background yang akan kita gali. Agar pertanyaan yang ditanyakan dapat
berkembang menjadi anak kalimat sehingga informasi yang didapat lebih mendalam
dan khusus. “ Jurnalisme warga juga berdasarkan pengalaman yang dialami
misalnya perubahan infrastruktur kota dsb.” Jelas Dito sebagai pembawa acara.
Penyampaian informasi bukan hanya bersifat umum, karena
banyak sisi yang menarik untuk di gali seperti kejadian saat pesawat jatuh ke
gunung Salak, yaitu perbandingan tenda Rusia dengan tenda TNI Indonesia dimana
tenda Rusia bersih dan bebas dari sampah. Kemudian misalnya bagaimana ketika
anggota TNI tidur di tali ketika mencari kotak hitam. Hal itu hal-hal yang
bukan bersifat umum dimana media mainstreem membicarakan hal yang sama. Jadi
jurnalisme warga justru menyampaikan secara luwes informasi yang tidak dibicarakan media mainstream.
Saat panas sedikit meredup,
Prima sebagai jurnalisme di Tempo menyampaikan dasar-dasar foto jurnalistik. “Kalau
untuk foto, masyarakat umum harus mengetahui kaidah-kaidah (lokasi jelas, momen
ada, waktu, kejadiannya fakta) serta harus memiliki etika misalnya dalam teknik
memotret yaitu ada unsur kesopanannya. Peristiwa harian yang direkam melalui
media kamera bisa juga disebut jurnal
dalam bentuk visual. Namun kembali kepada etika manusia jika objek tidak
berkenan kita sebaiknya tidak memaksa untuk memotret. Foto juga perlu ada keterangan secara detail.
Seiring dengan
perkembangan IPTEK, video sudah akrab dikenal masyarakat. Namun bagaiamana kita
mendokumentasikan suatu peristiwa agar
objek mau kita dokumentasikan. Hal tersebut dibangun atas dasar kepercayaan
oleh yang di shoot dengan kameramen. Yuvi sebagai pembuat video dokumentasi
berkata demikian. Layaknya seorang
jurnalisme warga, ia membangun kepercayaan kepada narasumber. Misalnya
narasumber ialah seseorang yang terdekat dengan kita. Dilihat dari video yang
diputar, sengketa tanah warga garut yang kemudian lahan pertanian di gusur dan
satu warga dibakar menggambarkan jelas kegelisahan warga Garut. Ketika terjadi
perselisihan antar warga dan TNI, dimana pihak TNI membawa senjata lengkap dan
warga hanya membawa golok. Kang Yufi dan teman-temannya berada dalam bahaya
dimana mereka di sekap pihak TNI karena tidak membawa kartu pers. Namun tidak
kehabisan akal, kang Yufi menaruh beberapa kaset di rumput, di rumah warga, di
tong sampah dan di tempat strategis lainnya. Dalam keadaan di todong senjata
kang yufi menaruh kasetnya di celana dalamnya karena kondisi kamera saat itu
sudah dirusak.
Kemudian kang yufi mengirimkan video dokumentasi itu ke DPR,
MPR dan pejabat lainnya. Tetapi yang
saya heran ialah salah satu stasiun TV memberitakan dengan headline resikonya menjadi
wartawan, dan isu tentang sengketa tanah itu tidak dijadikan topik utama. Dan
yang saya kagum ialah kang yufi tidak memilih untuk diwawancarai oleh wartawan
nasional padahal itu adalah kesempatan untuk menjadi terkenal, tetapi dia sadar
dia memihak warga agar isu tentang warga tidak hilang.
Pengalaman dari kang yufi ketika mendokumentasikan seorang
nenek yang membeli beras raskin, dia meminjam uang di warung untuk membeli
beras raskin. Setelah kejadian itu, ada tekanan emosional sehingga kang Yufi
tidak lagi meliput selama setahun.
Hal tersebut di tanggapi oleh (nn) karena beliau sebagai
psikologi justru harus mewartakan kejadian (...)